Agroindustri telur puyuh di Indonesia mulai tumbuh tahun 1970an,
bersamaan dengan tumbuhnya agroindustri ayam ras petelur. Namun konsumen
telur puyuh lebih terbatas dibanding konsumen telur ayam ras. Sebab
bobot telur puyuh yang hanya 10 gram per butir (1/5 sd. 1/6 bobot telur
ayam ras yang 50 sd. 60 gram per butir), tidak memungkinkannya untuk
didadar atau diceplok (dibuat telur mata sapi). Telur puyuh juga tidak
mungkin masuk ke industri roti, kue, telur asin dan pedagang martabak
telur, yang selama ini lebih banyak memanfaatkan telur itik. Pemanfaatan
telur puyuh, terbanyak adalah untuk sup, campuran aneka sayur dan
untuk disate. Kulit telur puyuh juga sangat lemah, hingga tidak
memungkinkan pengemasan dan pengangkutan berskala massal dalam kondisi
mentah. Untuk mengatasinya, peternak puyuh akan melakukan perebusan
telur sebelum mengemas dan menyalurkannya ke pedagang atau konsumen.
Kondisi inilah antara lain yang menyebabkan pertumbuhan agroindustri
telur puyuh tidak mengalami kemajuan sepesat agroindustri telur ayam
maupun itik.
Disamping kelemahan-kelemahan tersebut, puyuh juga
memiliki kelebihan dibanding ayam dan itik petelur. Pertama,
agroindustri puyuh sangat hemat tempat. Ruang 20 m2 (4 X 5 m) misalnya,
mampu menampung sampai 2.000 ekor puyuh. Investasi kandang dan benih
juga sangat rendah. Biaya investasi kandang kapasitas 1.000 ekor hanya
sekitar Rp 600.000,- dengan masa penyusutan 1 tahun (Rp 50.000,- per
bulan). Investasi puyuh siap telur Rp 4.000,- per ekor atau Rp
4.000.000,- untuk 1.000 ekor, dengan masa penyusutan 1 tahun. Puyuh
afkir masih punya nilai jual Rp 1.500,- per ekor. Hingga beban investasi
benih Rp 210.000,- per bulan. Total beban investasi agroindustri puyuh
menjadi Rp Rp 4.600.000,- dengan beban penyusutan Rp 260.000,- per
bulan. Beban pakan per hari @ 0,015 kg. X 1.000 X Rp 2.500,- = Rp
37.500,- ditambah hijauan dan obat/vitamin Rp 5.000,- = Rp 42.500,- per
hari atau Rp 1.275.000,-per bulan. Total beban biaya per bulan menjadi
Rp 1.535.000,- Untuk skala usaha 1.000 sd. 5.000 ekor, agroindustri
puyuh masih bisa ditangani oleh anggota keluarga. Hingga beban tenaga
kerja tidak perlu dihitung. Kalau saja mau dihitung, maka biaya tenaga
kerja untuk skala 1.000 ekor hanyalah sekitar Rp 100.000,- per bulan (2
jam kerja per hari).
Dengan pakan dan perawatan yang benar, 1.000
ekor puyuh akan mampu menghasilkan 750 butir telur per hari (75%).
Hasil telur per bulan 22.500 butir. Harga telur di tingkat peternak Rp
80,- per butir. Hingga pendapatan kotor peternak dari telur, Rp
1.800.000,- per bulan. Dari 1.000 ekor puyuh itu, tiap harinya juga akan
dihasilkan kotoran sebanyak 5 kg. Tiap 6 hari sekali, kotoran yang
dihasilkan akan mencapai 1 karung @ 30 kg, yang akan laku dijual seharga
Rp 10.000,- Hingga dalam satu bulan, peternak masih akan memperoleh
tambahan pendapatan dari kotoran puyuh sebesar Rp 50.000,- Hingga total
pendapatan kotor peternak per bulan Rp 1.850.000,- Dengan beban biaya
per bulan Rp 1.535.000,- pendapatan bersih dari 1.000 ekor puyuh adalah
Rp 315.000,- Hingga apabila seorang peternak ingin berpendapatan Rp
1.500.000,- per bulan, maka ia harus memelihara sebanyak 5.000 ekor
puyuh. Populasi sebanyak itu, masih mungkin ditangani oleh anggota
keluarga sendiri.
Dari angka-angka tersebut, tampak bahwa
komponen biaya terbesar dalam agroindustri puyuh adalah pakan. Biaya
pakan yang Rp 1.275.000,- adalah 83% dari total biaya yang 1.535.000,-
atau 78% apabila beban tenaga kerja yang Rp 100.000,- diperhitungkan.
Perhitungan ini berdasarkan asumsi harga pakan Rp 2.500,- per kg.
Apabila harga pakan mencapai Rp 3.000,- per kg. dan harga telur tidak
mengalami kenaikan, maka peternak akan merugi. Selama ini harga telur
yang Rp 100,- per butir di tingkat konsumen, sudah lebih tinggi
dibanding harga telur ayam ras maupun itik. Sebab dengan berat 10 gram,
maka harga telur puyuh di tingkat konsumen sudah mencapai Rp 10.000,-
per kg. Sementara harga telur ayam ras hanya berkisar Rp 7.000,- per kg.
Keuntungan akan bisa ditingkatkan, apabila peternak bersedia meramu
pakan sendiri. Agar produksi telur tidak menurun, maka kandungan protein
dalam pakan, minimal 24 %. Komponen pakan tersebut bisa diperoleh
berdasarkan campuran jagung kuning giling 30%, dedak halus (katul) 20%,
bungkil 20% tepung ikan 15% kedelai giling 10%, tepung tulang/tepung
kerang 3%, vitamin dan mineral 2%. Dengan membeli bahan-bahan sendiri
dan mencampurnya, maka biaya pakan bisa ditekan menjadi Rp 2.000,- per
kg. atau Rp 900.000,- per bulan (58,6% dari total biaya).
Kendala
utama beternak puyuh di lingkungan pemukiman adalah bau kotoran yang
sangat menyengat. Untuk menghindarinya, ke dalam minuman puyuh, tiap
harinya dicampurkan rimpang kunyit yang telah diblender atau diparut.
Selain itu, tiap hari ke atas kotoran ditaburkan kapur tohor (kapur
bangunan), atau biang bakteri (semacam EM 4). Dengan perlakuan seperti
ini, bau kotoran puyuh dalam kandang akan hilang. Konstruksi kandang
puyuh selalu dibuat dengan lantai kawat ram, hingga kotoran akan jatuh
keluar kandang. Di bawah lantai tiap petak kandang, dipasang triplek
atau seng yang bisa ditarik serta didorong masuk. Kotoran yang jatuh
akan tertampung dalam triplek atau seng ini, dan tiap hari harus diambil
serta dibersihkan. Kotoran yang terkumpul dalam karung juga harus
diberi biang bakteri, agar tidak memunculkan bau busuk. Kotoran yang
ditimbun dalam karung, biasanya akan segera ditumbuhi belatung. Belatung
ini bisa dimanfaatkan untuk pakan anak ikan, burung atau dimasukkan
kembali ke dalam pakan puyuh. Namun dengan sanitasi yang baik, belatung
yang sebenarnya larva lalat itu tidak akan muncul.
Meskipun sudah
diberi pakan dengan gizi cukup, puyuh akan saling kanibal. Biasanya yang
menjadi korban adalah individu yang paling lemah. Bagian punggung di
atas ekor serta bagian pantat, paling sering diserang untuk dimakan
bulu-bulu mudanya. Apabila bagian ini luka dan berdarah, serangan akan
semakin sering hingga bisa mengakibatkan luka parah atau kematian. Untuk
mencegahnya, selain diberi pakan butiran, puyuh juga perlu diberi
sayuran. Namun sayuran seperti kangkung atau daun singkong juga akan
segera habis dikerubuti puyuh. Hingga masih diperlukan pemberian bahan
pakan yang keras dan awet untuk mengalihkan perhatian. Misalnya bonggol
atau potongan batang pisang, nangka/pepaya muda, singkong, ubi jalar
dan lain-lain bahan yang keras agar tidak segera habis termakan. Dengan
cara demikian, puyuh akan disibukkan mematuk-matuk bahan tersebut,
hingga tidak terjadi saling kanibal. Selain untuk mengalihkan perhatian
dari sifat kanibalnya, bahan-bahan tambahan ini juga akan memberikan
serat kasar, mineral serta vitamin bagi puyuh. Hingga kebutuhan pakannya
akan semakin tercukupi.
Para peternak puyuh yang serius, biasanya
tidak akan puas hanya sekadar memproduksi telur konsumsi. Mereka juga
akan melakukan pembenihan sendiri. Sebab dengan cara ini, nilai tambah
yang diperoleh akan meningkat. Peralatan yang diperlukan untuk usaha
breeding adalah satu unit mesin tetas dengan tiga box pembesaran.
Investasi mesin tetas kapasitas 300 butir telur puyuh (60 butir telur
ayam kampung), sekitar Rp 1.000.000,- Nilai tiga buah box pembesaran,
juga sekitar Rp 1.000.000,-. Dengan masa penyusutan 3 tahun, maka beban
penyusutan per masa penetasan Rp 18.500,- Dengan produksi 240 anak
puyuh, beban per ekor Rp 77,- Beban box pembesaran adalah Rp 45.700,-
maka beban penyusutan per ekor adalah Rp 190,- Masa tetas telur puyuh
hanya 17 hari. Beda dengan ayam yang 21 hari dan itik yang 28 hari.
Beban listrik dan tenaga selama penetasan dan pembesaran Rp 200.000,-
per periode atau Rp 833,- per ekor. Telur yang akan ditetaskan dipilih
yang berukuran seragam, berbentuk sempurna dengan warna kerabang yang
cukup cerah. Induk penghasil telur harus diberi pejantan cukup hingga
telur bisa fertil (terbuahi). Nilai telur tetas ini lebih tinggi dari
telur konsumsi, yakni sekitar Rp 120,- per butir.
Daya tetas
normal pembenihan puyuh adalah 80%. Hingga dari 300 butir telur yang
ditetaskan, akan diperoleh 240 anak puyuh. Dari jumlah itu, 120
berkelamin jantan dan 120 betina. Puyuh jantan akan digemukkan dengan
pakan starter dan grower sampai umur 50 hari dan dijual sebagai puyuh
potong dengan nilai Rp 1.500,- per ekor. Anak puyuh betina dibesarkan
untuk menjadi puyuh petelur, juga selama 50 hari. Nilai pakan untuk 120
ekor puyuh tersebut adalah 0,015 X 120 X Rp 2500,- X 50 = Rp 225.000,-
Dengan sayuran dan vitamin nilainya Rp 250.000,- atau beban per ekor Rp
1.042,- Hingga harga pokok anak puyuh (jantan maupun betina) adalah Rp
77,- (penyusutan mesin tetas) + Rp 190,- (penyusutan box) + Rp 833,-
(listrik dan tenaga) + Rp 120,- (harga telur) + Rp 1.042,- (pakan) = Rp
2.262,- Pendapatan dari puyuh jantan adalah Rp 1.500,- X 120 = Rp
180.000,- Dari puyuh betina siap telur Rp 4.000,- X 120 = Rp 480.000,-
atau total Rp 660.000,- atau per ekor Rp 2.760,- Hingga margin yang
diperoleh peternak Rp 488,- per ekor.
http://foragri.blogsome.com/agroindustri-telur-puyuh-yang-stabil/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar